Sabtu, 11 Maret 2017
Kisah Fitri Khoerunnisa yang Mengubah Hidup Lewat Sains
Tingkat ketelitian perempuan menjadi sebuah nilai tambah untuk menjadi seorang peneliti. Namun jadi peneliti bukan cuma soal ketelitian, tapi juga soal keberanian mengambil risiko.
Fitri Khoerunnisa adalah salah satunya. Perempuan yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Pendidikan Indonesia ini pun berani mengambil langkah untuk meneliti tentang penyimpanan gas dengan bahan nonmaterial.
"Semua ini tentang bagaimana gas bisa disimpan dengan nanomaterial. Karena dengan cara penyimpanan gas tradisional memiliki risiko meledak yang tinggi," kata Fitri beberapa waktu lalu di Jakarta.
Riset tentang gas ini dipilih Fitri sebagai proposal untuk mengajukan beasiswa program doktor di sebuah universitas di Chiba, Jepang.
"Setelah S2 di UGM, saya merasa mau kuliah lagi. Tapi profesor di UGM mendorong untuk bisa ambil kuliah di Jepang, kebetulan saat itu dia habis riset di Jepang."
Kala itu, Fitri mengaku kalau dia merasa tidak yakin akan kemampuannya. Namun ucapan dan dorongan profesor di UGM membuatnya tertantang. "Saya diberi kontak profesor di Jepang, saya coba daftar, kirim biodata, dan pernyataan minat untuk mendaftar riset di Jepang," katanya.
"Ternyata profesor di sana bersedia memberi surat penerimaan. Tapi saat persiapan ke sana, saya juga daftar beasiswa dikti. Dari 10 ribu orang yang lolos hanya 100 orang."
Kala itu, Fitri mengungkapkan kalau keberangkatannya ke Jepang ternyata membutuhkan waktu lama. Sang profesor yang merasa tak sabar akan kedatangannya pun memintanya untuk mendaftar ke beasiswa nasional di Jepang. Fitri pun lulus dan berangkat ke Negeri Matahari Terbit.
"Ternyata beasiswa Jepang ini kerjasama dengan pihak Jerman. Saya jadi bisa bergabung dengan tim riset Hambold University di Jerman."
Hasil penelitiannya pun terbilang memuaskan. Membran nanofiltrasinya dianggap memiliki mekanik yang bagus dan tahan bakteri.
"Saya sudah punya paten di Jepang bersama profesor di sana. Salah satu produknya yaitu konduktor listrik yang terbuat dari plastik dalam bentuk film pun sudah dilirik produsen besar di Jepang."
Usai kuliah, Fitri pun kembali ke Indonesia. Sayang di tanah kelahirannya ini, proses pengajuan penelitian untuk aplikasi ilmu yg didapatnya tak semudah di Jepang. "Seperti langit dan bumi. Di Jepang mereka sangat concern soal penelitian jadi mudah untuk pengajuan ke lembaga. Tapi di sini sangat susah," ucapnya.
Selain proses pengajuan yang sulit, Fitri juga mengaku sulit mendapatkan bahan baku penelitian di Indonesia.
"Beli bahannya paling dekat di Singapura," ujarnya.
"Saat itu saya pikir, kalau saya terlalu idealis maka saya akan 'mati,' di sini harus bisa beradaptasi, down to earth, dan memanfaatkan yang ada di sini."
Fitri mengaku bahwa dunia sains memang saling terhubung satu sama lainnya. Dari satu rangkaian kejadian, bisa menjadi 'pertanyaan' dan bahan penelitian berkelanjutan. Saat ini, dia terlibat dalam penelitian tentang pengelolaan air. Dia mencari cara alternatif untuk menggantikan tawas sebagai penjernih air. Dikatakannya, penggunaan tawas yang berlebihan akan merusak kesehatan manusia. 'Tugas' Fitri adalah untuk mengembangkan alternatif penjernihan air yang aman untuk lingkungan dan juga manusia.
"Saya pakai bahan turunan selulosa dari cangkang udang dan kepiting. Itu termasuk jenis polimer karena punya gugus yang bisa berinteraksi dengan air."
Kali ini bahan yang dibutuhkannya tidak sulit didapat. Bahannya justru gratis dan bisa didapatkan di restoran seafood.
"Saya percaya tidak ada yang sia-sia. Data sejelek apapun masih ada hal yang bisa ditemukan," katanya.
"Mungkin ini yg bikin saya tertarik dengan sains. Bisa mengungkap semua yang buat saya penasaran."
Jatuh Cinta dengan Sains
Fitri kembali mengenang masa kecilnya. Waktunya diputar kembali ke masa di masa dia mulai mengembangkan rasa penasarannya menjadi sebuah kecintaan akan ilmu pengetahuan.
Sejak kecil dia mengaku selalu jadi sosok anak kecil yang penasaran saat orang dewasa tengah bicara.
"Makanya sering dianggap gak sopan karena banyak tanya kenapa dan ingin tahu saja. Saya sering dikunci di kamar kalo ada tamu," kata Fitri diiringi tawa.
Selain itu, guru sains yang menyenangkan dan dukungan sekolah membuat Fitri makin cinta pada sains. Dia sering mengikuti berbagai lomba cerdas cermat di sekolahnya.
"Role model (seperti guru dan orang tua) itu penting supaya anak bisa tertarik ke sains," ujarnya.
Hal lain yang membuatnya senang sains adalah karena dia tak suka berbagai pelajaran berbau hafalan. Dia mengaku lebih suka belajar yang menuntut logika dan rasionalitas.
"Di Indonesia anak dianggap pintar kalau bisa hafal semua pelajaran. Padahal belum tentu berguna buat dia. Dan yang penting itu sih, menarik minat untuk ke sains."
Ketertarikan anak sejak kecil dalam dunia sains, diakuinya sebagai sebuah faktor penting untuk kemajuan. Bahkan dia mengungkapkan sains jauh lebih penting dari politik dan hal lainnya.
"Lihat sendiri, kebutuhan primer dan lainnya bisa dipenuhi dengan sains."
Kejar cita-cita
Keberhasilan Fitri sebagai seorang peneliti tak lepas dari dukungan kedua orang tuanya. Namun ini tak berati bahwa orang tuanya memberikan semua fasilitas mewah yang dibutuhkan.
Sebaliknya, perempuan yang mengajar di Bandung ini justru lahir dalam kesederhanaan keluarga besar.
"Saya anak ke-13. Sebenarnya waktu itu sudah mau jadi anak bungsu tapi gagal. Bahkan sampai ditegur kepala desa," katanya diikuti tawa.
"Dulu kalau mau makan telur saja harus dicampur air dan tepung agar tebal. Makannya juga harus cepat, kalau telat bisa kehabisan."
Fitri lahir dari ibu yang hanya lulusan SD dan ayahnya lulusan setara SMP. Kala itu, ayahnya hanyalah pegawai honorer biasa dan baru diangkat jadi PNS saat Fitri duduk di bangku kuliah.
"Kebayanglah penghasilan bapak berapa. Tapi saya kagum dengan cara pandang bapak. Beliau selalu menekankan, hanya dengan pendidikan, kita bisa berubah."
Namun Fitri sempat terancam tak kuliah. Sang ayah memintanya masuk pesantren karena tak kuat membayar biaya kuliah. Tapi nasib berkata lain, salah seorang sepupunya 'memberikan jalan lain yang mengubah hidupnya.
"Saya diberi uang agar bisa ikut Sipenmaru, diantar dan tinggal di rumahnya. Tapi saya tidak bilang bapak. Dan tiap ketemu dengan bibi saya berterima kasih sekali."
Dia pun berhasil lolos ujian masuk kuliah di S1 UPI jurusan Kimia. Ibu dan ayahnya pun luluh dengan perjuangan diam-diam Fitri agar bisa terus sekolah.
"Ayah pinjam uang di koperasi untuk biaya kuliah."
Di bangku kuliah inilah perjuangan Fitri dimulai. Dia mencari berbagai beasiswa untuk meringankan beban orang tuanya sekaligus memuaskan rasa penasarannya akan dunia sains.
Sumber inspirasi anak
Kehidupan Fitri tak selamanya mulus. Saat mendapat beasiswa ke Jepang, dia harus sedikit mengorbankan keluarga dan tinggal berjauhan. Tapi suaminya mendukung keputusan Fitri untuk belajar.
"Suami saya bilang harus tetap pergi dan maju. Dia bilang jangan peduli kata orang soal keluarganya, karena bagi dia yang penting saya maju karena saya sumber inspirasi anak-anak," ujarnya.
"Saya sepakat kalau perubahan itu harus dimulai dari perempuan. Perempuan itu ibu dan istri dan yang paling banyak memengaruhi dalam keluarga," katanya.
"Bagaimana anak mau cinta sama sains kalau orang tuanya tidak bisa kasih jaminan sains itu menyenangkan dan prospektif? Itu yang menguatkan saya untuk tetap belajar dan menginspirasi."
"Sains itu memang inovasi yang menghasilkan teknologi, tapi yang tidak boleh dilupakan adalah sains sebagai sikap. Maksudnya, saintis itu mesti jujur, objektif, kerja keras, kejar terus sampai dapat." (sumber CNN Indonesia)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar