Senin, 29 Mei 2017

Kisah Pelestarian Duyung di Srilangka



"Kami bisa menyamar jadi apa pun. Bisa jadi kru film, turis, apa pun, asal warga desa tidak tahu siapa kami sebenarnya," ujar pria bertubuh besar itu, kemudian menaruh telunjuk di ujung bibirnya.

Ia kemudian mengarahkan telunjuknya ke arah rumah-rumah warga desa di tepi pantai Puttalam di Kalpitya, Sri Lanka, membuat seluruh mata menatap ke arah yang sama.

Sejumlah warga menyambut tatapan itu dengan senyum sambil membawa ikan hasil tangkapan. Di depan gubuk-gubuk tempat menyetor tangkapan, terlihat pula warga yang sedang bersantai merajut jala ikan.

"Mereka mungkin tidak sesantai itu jika kami tak memperkenalkan diri dengan baik," ujar pria itu yang kemudian menjulurkan tangannya dan memperkenalkan diri, Prasanna Weerakkody, dari Ocean Resources Conservation Association (ORCA).

ORCA datang ke desa itu sekitar tiga tahun lalu untuk melaksanakan program Konservasi Dugong, salah satu spesies yang dimasukkan ke dalam kategori langka oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Dengan biaya dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) sebesar US$4,88 juta, mereka ditugaskan untuk menggencarkan upaya konservasi dugong di Sri Lanka, termasuk perlindungan rumput laut sebagai makanannya, terhitung mulai 2015 hingga 2018.

Ketika datang ke desa tersebut, mereka membawa sejumlah perangkat teknologi mutakhir untuk melacak keberadaan dugong. Mulai dari drone hingga pelacak termal, semua alat canggih sudah aman di dalam tas bawaan.

Namun, mereka harus menyatu dengan lingkungan agar warga leluasa memberikan informasi mengenai keberadaan hewan yang juga biasa disebut duyung ini. ORCA harus dapat merebut kepercayaan warga agar mereka mau memberi keterangan apa adanya.

Perlahan, tim ORCA dapat berkomunikasi dengan warga, menanyakan kemungkinan mereka pernah melihat dugong. Warga bahkan mulai terbuka dan mengaku sempat mendengar rumor sejumlah nelayan menangkap dugong untuk dijual di pasar gelap.

Menurut perwakilan dari UNEP, Max Zieren, dugong juga biasanya menjadi korban dari aktivitas biadab manusia, mulai dari penangkapan ikan dengan cara ilegal hingga pembangunan industri di pesisir.

Lambat laun, warga mengerti pentingnya menjaga hewan langka. Mereka pun turut prihatin ketika salah satu rekan kerja dalam proyek konservasi ini, National Aquatic Resources Research and Development Agency Sri Lanka (NARA), melaporkan ada 13 dugong tewas sepanjang tahun 2016.

"Namun, hingga saat ini, tidak ada yang pernah melihat langsung dugong hidup, baik itu penduduk, maupun saya sendiri," tutur Weerakkody lirih.

Manajer Proyek IUCN Sri Lanka, Arjan Rajasurya, mengatakan bahwa keberadaan dugong sulit dilacak karena mereka merupakan hewan yang sangat tertutup. Mereka biasanya hanya berdiam di dasar laut, sambil sesekali melahap rumput di perairan itu.

Hingga saat ini, tim konservasi ini bahkan belum berhasil menghimpun banyak informasi mengenai jumlah dugong di Sri Lanka. Tim konservasi ini juga tak memiliki banyak data mengenai pergerakan dan kebiasaan dugong.

"Dugong itu bisa saja ada di bawah kapal, tapi kalian tidak akan tahu keberadaan mereka karena mereka tidak akan melompat ke permukaan seperti lumba-lumba, atau mencipratkan air seperti paus," katanya. (sumber: CNN Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar