Wahyu Samudra (10), bocah laki-laki ini sedang berjuang melawan penyakit yang dideritanya. Ukuran kepalanya lebih besar dari ukuran kepala manusia normal akibat penyakit hidrosefalus.
Meski memiliki kelainan pada bagian kepalanya, Ia tetap berusaha keras agar dapat mengenyam pendidikan. Saat ini Wahyu menginjak kelas VI disalah satu Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Ia tercatat sebagai siswa berprestasi.
Wahyu berasal dari keluarga miskin yang tinggal di Jatibaru, Kecamatan Asakota, Kota Bima.
Orang tuanya tidak memiliki pendapatan yang cukup. Ibunya hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sedangkan ayahnya berprofesi sebagai tukang ojek.
Di tengah kemiskinan, anak keempat dari enam bersaudara pasangan Kuswati dan Kusman itu terpaksa jadi buruh angkut di terminal.
Sepulang sekolah, Ia sering gunakan waktu untuk mengais rezeki di terminal dengan mengangkat barang-barang penumpang saat turun dari bus angkutan umum ketika sore hari. Dalam sehari dia bisa mengantongi mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 100.000.
“Biasanya dua kali angkat barang, yang berat itu dapatnya Rp 5.000. Kalau sehari dapatnya Rp 50.000, kadang Rp 80.000, tapi enggak nentu. Kemarin aja dapat Rp 100.000,” kata Wahyu saat ditemui di salah satu rumah warga, Sabtu (13/5/2017).
Dia mengaku, dari hasil yang didapatkan Ia bisa menabung untuk membeli sepatu dan membantu biaya hidup orangtuanya.
“Saya cari uang buat beli sepatu baru dan jajan di sekolah. Kalau dapat Rp 100.000, saya kasih mama Rp 50.000, bapak Rp 10.000, sisanya saya tabung,” tuturnya.
Wahyu memang tidak seperti anak lainnya. Sepulang sekolah dan menjadi buruh, dia tidal bermain atau keluyuran seperti teman sebayanya. Ia lebih banyak memanfaatkan waktu untuk belajar dan membantu orang tua.
“Kalau habis cari uang, saya istrahat di rumah. Kadang bantu pijat bapak. Kalau pulang ojek katanya capai. Saya pijitin sampai tidur. Setelah itu saya belajar,” kata dia.
“Alhamdulillah, saya sudah empat kali dapat juara satu,” tambahnya.
Bocah aktif ini mengaku bercita-cita ingin menjadi seorang pendidik. Dia memiliki keinginan agar kelak bisa mendidik anak-anak. “Saya ingin jadi guru agar bisa ajarin anak-anak,”ujar Wahyu.
Wahyu adalah satu dari sekian bocah yang divonis menderita hidrosefalus. Ia mengidap penyakit itu sejak usia kecil. Karena orangtuanya tak punya biaya berobat, Dia terpaksa dirawat dirumah. Lantaran tidak pernah mendapat perawatan medis menyebabkan ukuran kepalanya terus membesar, karena mengalami penumpukan cairan dalam kepala.
Seiring perkembangan usianya, Wahyu terus melawan rasa sakit tanpa penanganan dokter. Hampir setiap hari dia kerap kesakitan. Namun ia merasa masih ada secerca harapan untuk hidup sehingga memilih untuk tetap bersekolah.
“Di sekolah sering sakit, kejang-kejang. Itu hampir setiap hari. Tapi kemarin dikasih obat di rumah sakit, sekarang sudah sehat. Enggak kejang-kejang lagi,”sebutnya.
Bocah miskin ini rupanya mendapat perhatian dari Lembaga Kesejahteraan Sosial dan Anak (LKSA). LKSA pun membawa Wahyu ke RS Sanglah Bali.
“Kita hanya melakukan pendampingan, sudah dua kali kita bawah ke rumah sakit. Semua biaya pengobatan kita minta bantuan dari pemerintah Kota,” ucap Muchtar ari LKSA.
Namun setelah dua bulan di rumah sakit Sanglah, sebut Muchtar, dokter tidak berani melakukan operasi karena dikhawatirkan terjadi gangguan pada jaringan otak.
“Hasil analisa dokter, dia cukup diberikan obat-obatan anti kejang. Kalau dioperasi dikhawatirkan malah akan memperburuk keadaan,” tuturnya.
Menurut dia, kepala Wahyu dipastikan sudah tak lagi membesar. Bahkan Wahyu disebut sebagai anak hidorosefalus yang pintar oleh dokter tumbuh kembang anak di Denpasar.
“Kondisi kepalanya tidak akan membesar lagi. Dia sudah dijadikan iconsebagai salah satu anak hidrosefalus yang pintar di Indonesia,” katanya. (sumber: kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar