Siti Raisa Miranda (13) alias Echa telah menjadi seperti Putri Aurora dalam kisah Sleeping Beauty produksi Walt Disney. Perbedaannya hanya periode tidur Echa saja yang masih dalam hitungan hari, tak selama Aurora yang tidur hingga 100 tahun.
Meski demikian, Echa merupakan fenomena. Seperti diberitakan Kompas.com, Selasa (24/10/2017), remaja yang bersekolah di SMPN 15 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, itu baru-baru ini dikabarkan tidur selama 13 hari berturut-turut.
Itu bukan kali pertama. Sebelumnya, ia pernah tidur selama 7 hari dan kemudian 8 hari. "Kalau kambuhnya sudah kedelapan (kali). Kalau tidurnua (lama) yang ketiga,” kata Mulyadi, ayah Echa, yang menduga bahwa anaknya mengalami sindrom putri tidur atau Klein Levine.
Ahli saraf dan peneliti tidur Dr Rimawati Tedjakusuma SpS RPSGT mengatakan, kemungkinan besar yang dialami Echa memang sindrom Klein Levine. Dalam kurun waktu 1967 hingga 2004, hanya menimpa 186 orang di dunia. Umumnya dialami perempuan.
Gejala paling terlihat dari orang dengan sindrom Klein Levine yang waktu tidurnya sangat lama. Periode tidur bisa berlangsung selama hampir sebulan. Penderita bisa bangun tiba-tiba untuk makan dan ekskresi namun akan tidur lagi. Di akhir masa tidur, lumrah terjadi insomia dalam waktu singkat.
Gejala yang dialami Echa memang menyerupai sindrom Klein Levine. Dia pernah tidur selama hampir 2 minggu, bangun untuk sekadar makan dan buang air, serta pernah mengalami insomnia ekstrem, tidak tidur selama 3 hari berturut-turut.
Gejala lain dari Kleine Levin lebih tak disadari orang sekitar. Santosh Ramdurg dalam publikasinya di Annual Indian Academy of Neurology pada 2010 menjelaskan, pendeirta Klein Levine bisa mengalami gangguan kognitif, hasrat seksual yang berlebihan, halusinasi, dan gangguan mood.
Meski kemungkinan besar merupakan Kleine Levin, tak menutup kemungkinan Echa mengalami hal berbeda. "Bisa saja ada sesuatu di otaknya. Bisa juga misalnya ada tumor otak yang letaknya di area yang mengatur tidur," jelasnya ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (25/10/2017).
Rima mengatakan, orang yang mengalami depresi juga bisa tidur lama. Namun biasanya tak selama orang yang mengalami Kleine Levin. Dengan demikian, kemungkinan yang dialami Echa adalah depresi ekstrem bisa dihapus dari daftar dugaan.
Bagaimana Memastikannya?
Untuk memastikan apa yang sedang dialami Echa, Rima mengatakan perlu dilakukan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan CT Scan. Tujuannya adalah memastikan ada tidaknya kelainan seperti tumor di otak. "Kalau Kleine-Levin Syndrome ketika di-MRI (Magnetic Resonance Imaging) bersih otaknya.
Mulyadi, ayah Echa, mengaku sudah membawa putrinya ke rumah sakit untuk di CT Scan. Dua kali melakukannya, Mulyadi mengaku bahwa hasil pemindaian anaknya baik-baik saja. Meski demikian, pemindaian dengan cara lain seperti MRI bisa diupayakan lagi untuk memastikan.
Upaya memastikan seseorang mengalami Kleine Levin, harus dilakukan dengan investigasi pengalaman. Tidak ada langkah klinis seperti tes darah, hormon, ataupun genetik untuk memastikannya. Pemeriksaan seperti MRI dan EEG (Electroencephalogram) hanya bertujuan menghapus kemungkinan lain.
Rimawati mengatakan, "Kemungkinan besar penyebab Kleine Levin genetik, tapi kita juga belum tahu gen apa yang menyebabkan." Karena itulah, pemeriksaan genetik juga tidak bisa memastikan seseorang mengalami Kleine Levin.
Menurut International Classification of Sleep Disorders, seseorang dikatakan mengalami Kleine Levin bila mengalami tidur 2-4 minggu, kambuh beberapa kali, dengan periode antar kambuh antara bulan hingga tahun, dan diagnosanya tidak bisa diterangkan dengan penyakit saraf lain.
Selain itu, untuk bisa dikatakan Kleine Levin, hipersomnia atau tidur berlebihan juga harus disertai satu diantara empat gejala, yaitu gangguan mood dan kognisi, megaphagia atau makan berlebihan, hasrat seksual yang berlebihan, serta ekspresi tak normal seperti agresif dan sensitif berlebihan.
Dalam kasus Echa, gejala selain tiodur berlebihan belum diungkapkan. Sementara, Rima menambahkan, kecelakaan disertai luka di kepala yang dialami Echa belum bisa dikatakan sebagai pemicu tidur berlebihan yang dialaminya. Rima juga mengatakan, tak ada hubungannya trauma kepala dengan Kleine Levin.
Apa yang Harus Dilakukan pada Echa?
Yang jelas, pemeriksaan dahulu. Jika memang yang dialami Echa memang Kleine Levin, sayangnya, tak banyak yang bisa dilakukan untuk membantunya. Hingga saat ini, belum ada obat-obatan yang bisa dipastikan akan membantunya tidur normal.
"Kita bisa pakai obat-obat stimulan. Misalnya obat-obat untuk attention ADHD. Harusnya sih ada stimulan yang lebih aman, yaitu modafinil. Sayangnya obat itu belum masuk ke Indonesia," kata Rimawati yang praktek di Rumah Sakit Medistra.
Sejumlah obat sebenarnya telah diujicobakan. Amphetamine misalnya. Namun, tingkat keberhasilannya hanya 71 persen. Itu pun tak membantu tidur, hanya membantu menenangkan mood. Obat lain adalah Lithium yang punya tingkat keberhasilan lebih rendah, cuma 41 persen.
Selain dengan obat, Rimawati mengatakan bahwa yang terpenting adalah sikap keluarga, sekolah, serta masyarakat. "Perlu ada kesadaran bahwa ini memang penyakit, bukan karena si anak ini malas," ungkap Rimawati.
Yang sedikit melegakan, Kleine Levin bisa reda pada usia 20-30 tahun. "Makin dewasa biasanya episodenya (tidur) lebih jarang," sambung Rimawati. Jika memang menderita itu, maka ada harapan Echa bisa hidup normal di kemudian hari. (sumber:kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar